Jumat, 22 Februari 2008 10:48:00
DPR tak Boleh Bentuk Pengadilan HAM Ad Hoc
Kesimpulan tersebut termuat dalam putusan Mahkamah Konstitusi (MK) dalam uji materi Pasal 43 ayat 2 Undang-Undang Nomor 26/2000 tentang Pengadilan HAM yang diajukan mantan wakil panglima Pejuang Integrasi (PPI) Timor Timur, Eurico Guterres.
Guterres pernah diadili melalui Pengadilan HAM Ad Hoc yang dibentuk DPR. Putusan perkara Nomor 18/PUU-V/2007 tersebut dibacakam Ketua Majelis Hakim MK, Jimly Asshiddiqie, di Ruang Sidang Pleno MK, Kamis (21/2). Pasal 43 ayat 2 UU Pengadilan HAM berbunyi, Pengadilan HAM Ad Hoc sebagaimana dimaksud dalam ayat 1 dibentuk atas usul Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR RI) berdasarkan peristiwa tertentu dengan Keputusan Presiden.
Dalam penjelasan Pasal 43 ayat 2 UU Pengadilan HAM dinyatakan, Dalam hal DPR RI mengusulkan dibentuknya Pengadilan HAM Ad Hoc, DPR RI mendasarkan pada dugaan telah terjadinya pelanggaran hak asasi manusia yang berat yang dibatasi pada locus (tempat) dan tempus delicti (kejelasan waktu) tertentu yang terjadi sebelum diundangkannya undang-undang ini.
Majelis Hakim MK dalam pertimbangan putusannya menyatakan, penjelasan Pasal 43 ayat 2 UU 26/2000 tersebut bertentangan dengan UUD 1945 sepanjang mengenai kata dugaan. Jimly menuturkan, pemohon pada dasarnya tidak mempersoalkan eksistensi Pengadilan HAM Ad Hoc, melainkan mempermasalahkan proses pembentukannya yang melalui usulan DPR kepada Presiden yang kemudian menetapkannya dengan Keppres yang merugikan hak konstitusionalnya untuk mendapatkan jaminan kepastian hukum dan keadilan.
Sehubungan dengan substansi Penjelasan Pasal 43 ayat 2 UU Pengadilan HAM, kata Jimly, majelis hakim MK berpendapat untuk menentukan perlu tidaknya pembentukan Pengadilan HAM Ad Hoc atas suatu kasus tertentu menurut locus dan tempus delicti memang memerlukan keterlibatan institusi politik yang mencerminkan representasi rakyat, yaitu DPR.
Akan tetapi, DPR dalam merekomendasikan pembentukan Pengadilan HAM Ad Hoc harus memerhatikan hasil penyelidikan dan penyidikan dari institusi yang memang berwenang untuk itu. ''Dengan demikian, Penjelasan Pasal 43 ayat 2 UU Pengadilan HAM sepanjang mengenai kata dugaan bertentangan dengan konstitusi dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat,'' urai Jimly.
Terhadap putusan ini seorang dari delapan hakim konstitusi yang menangani perkara ini, yaitu I Dewa Gede Palguna, mempunyai pendapat berbeda (dissenting opinion). Menindaklanjuti putusan MK tersebut, kuasa hukum Guterres, Mahendradatta, menegaskan, kliennya segera mengajukan Peninjauan Kembali Putusan Mahkamah Agung Nomor 06 K/Pid.HAM AD HOC/2005 yang menjatuhkan putusan pidana penjara sepuluh tahun kepada Guterres.
Putusan tersebut sama dengan putusan Pengadilan HAM Ad Hoc Pengadilan Negeri Jakarta Pusat Nomor 04/Pid.Ham/ad.hoc/2002/PH.JKT.PST. Guterres saat ini sudah menjalani masa hukumannya di Lembaga Pemasyarakatan Cipinang sejak 4 Mei 2004. Menurut Mahendradatta, Senin (25/2) mendatang dia akan menemui Guterres di LP Cipinang untuk membicarakan mekanisme pengajuan PK. ''Akan kita bahas secepatnya agar yang bersangkutan bisa cepat dibebaskan,'' ujar Mahendradatta usai sidang. ade
( )
Kamis, 21 Pebruari 2008 12:27:57 http://www.mahkamahkonstitusi.go.id/berita.php?newscode=564 |
DPR TAK BISA BENTUK PENGADILAN HAM AD HOC BERDASARKAN DUGAAN |
Penjelasan Pasal 43 ayat (2) UU No. 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia (UU Pengadilan HAM), sepanjang mengenai kata ”dugaan” bertentangan dengan UUD 1945. Hal tersebut dinyatakan Mahkamah Konstitusi (MK) dalam sidang pengucapan putusan perkara No. 18/PUU-V/2007, Kamis (21/2), di Ruang Sidang Pleno MK. Eurico Guterres merupakan Pemohon perkara tersebut. Guterres yang pernah diadili melalui Pengadilan HAM ad hoc mengajukan permohonan pengujian Pasal 43 ayat (2) UU Pengadilan HAM yang berbunyi, "Pengadilan HAM ad hoc sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dibentuk atas usul Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia berdasarkan peristiwa tertentu dengan Keputusan Presiden" beserta Penjelasan Pasal 43 ayat (2) UU Pengadilan HAM yang berbunyi, "Dalam hal Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia mengusulkan dibentuknya Pengadilan HAM ad hoc, Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia mendasarkan pada dugaan telah terjadinya pelanggaran hak asasi manusia yang berat yang dibatasi pada locus dan tempus delicti tertentu yang terjadi sebelum diundangkannya Undang-undang ini". MK dalam pertimbangan hukum putusan berpendapat bahwa Pemohon pada dasarnya tidak mempersoalkan eksistensi Pengadilan HAM ad hoc, melainkan mempermasalahkan proses pembentukannya yang melalui usulan DPR kepada Presiden yang kemudian menetapkannya dengan Keppres yang merugikan hak konstitusionalnya untuk mendapatkan jaminan kepastian hukum dan keadilan. Oleh karena itu, permohonan Pemohon mengenai Pasal 43 ayat (2) UU Pengadilan HAM beserta dalil-dalil yang terkait itu tidak perlu dipertimbangkan lagi oleh MK. Sehubungan dengan substansi Penjelasan Pasal 43 ayat (2) UU Pengadilan HAM, MK berpendapat untuk menentukan perlu tidaknya pembentukan Pengadilan HAM ad hoc atas suatu kasus tertentu menurut locus dan tempus delicti memang memerlukan keterlibatan institusi politik yang mencerminkan representasi rakyat yaitu DPR. Akan tetapi, DPR dalam merekomendasikan pembentukan Pengadilan HAM ad hoc harus memperhatikan hasil penyelidikan dan penyidikan dari institusi yang memang berwenang untuk itu. Oleh karena itu, DPR tidak akan serta merta menduga sendiri tanpa memperoleh hasil penyelidikan dan penyidikan terlebih dahulu dari institusi yang berwenang, yaitu Komnas HAM sebagai penyelidik dan Kejaksaan Agung sebagai penyidik sesuai ketentuan Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000. Harus dipahami pula bahwa kata ”dugaan” dalam Penjelasan Pasal 43 ayat (2) UU Pengadilan HAM dapat menimbulkan ketidakpastian hukum (rechtsonzekerheid) sebagai akibat dapat ditafsirkannya kata ”dugaan” berbeda dengan mekanisme tersebut. Dengan demikian, menurut MK, Penjelasan Pasal 43 ayat (2) UU Pengadilan HAM sepanjang mengenai kata ”dugaan” bertentangan dengan konstitusi dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat. Terhadap putusan ini seorang Hakim Konstitusi yaitu I Dewa Gede Palguna mempunyai pendapat berbeda (dissenting opinion). Menindaklanjuti putusan MK ini, kuasa hukum Guterres, M. Mahendradatta, ketika ditemui seusai sidang menyatakan akan segera mengajukan Peninjauan Kembali Putusan Mahkamah Agung No. 06 K/Pid.HAM AD HOC/2005 yang menjatuhkan putusan pidana penjara sepuluh tahun kepada Guterres. Putusan tersebut sama dengan putusan Pengadilan HAM ad hoc Pengadilan Negeri Jakarta Pusat No. 04/Pid.Ham/ad.hoc/2002/PH.JKT.PST. (Luthfi Widagdo Eddyono) |